menarik

Pengabdian Abdi Dalem Keraton Yogyakarta

Posted on Updated on

       Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Orang-orang yang mengabdi seluruh hari-harinya demi kraton, pada zaman dahulunya, Abdi Dalem difungsikan sebagai pembantu Raja-Raja Yogyakarta. Namun, hingga kini masih banyak orang yang ingin menjadi abdi dalem walaupun upahnya tidak seberapa dengan lelahnya menjaga lingkungan keraton.

       Upah tidak seberapa, namun abdi dalem adalah panggilan jiwa. Maksudnya, mereka yang menjadi abdi dalem hanya mengharapkan berkahnya hidup dari Keraton, berkahnya rezeki, keluarga, dan lainnya. Walaupun ideologi abdi dalem bertentangan dengan syariah Islam dan agama lainnya, namun mereka masih berpegang teguh pada ajaran nenek moyang terdahulu, Keraton dapat membawa keberkahan. Selain itu, menjadi abdi dalem dapat mempererat hubungan kekerabatan dengan Raja Yogyakarta.

foto sc kompasiana

       Motif lorek kuning dan hitam pada pakaian abdi dalem menggambarkan keteguhan hati. Mereka yang mengorbankan jiwa dan raganya setiap hari tanpa libur untuk menjaga keraton, tidak pernah goyah semangatnya. Kancing di leher berjumlah enam menadakan rukun iman. Sedangkan kancing lengan tangan yang berjumlah lima mendandakan rukun Islam yang berjumlah lima.

Transaksi di Atas Air

Posted on Updated on

Di Sungai Barito, Kalimantan Selatan, terdapat suatu tempat perbelanjaan tradisional yang letaknya di atas air. Pasar terapung namanya. Di pasar ini, seluruh aktifitas jual beli dilakukan dengan beralaskan perahu. Selain berfungsi sebagai tempat transaksi, pasar ini juga menjadi tempat wisata bagi para pengunjung.

Pasar terapung ini hanya tersedia pada pagi hari. Yaitu pukul 06.30 WITA hingga pukul 08.00 WITA. Pasar tradisional ini menyediakan beberapa bahan dapur : daging, sayur, buah-buahan, dll. Selain itu, pasar ini juga menyediakan masakan siap saji : sate, soto banjar, ikan goreng, dan makanan lainnya yang dapat ditemui di pasar terapung ini.

BECAK : Kendaraan Jadul nan Digemari Masyarakat

Posted on Updated on

       Becak, sebuah kendaraan tradisional yang dari dulu hingga kini masih dipertahankan. Becak sendiri asal mulanya dari Jepang. Bedanya, becak Jepang menggunakan Manusia sebagai penariknya. Sedangkan di negeri kita menggunakan becak/motor sebagai pendorongnya. Hingga kini, becak masih dipertahankan bahkan semakin berkembang di kota-kota besar, seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, dll. Becak juga divariasikan sesuai daerahnya masing-masing.

       Walaupun waktu yang ditempuh bila mengendarai becak cukup lama, dan resiko terkena panas matahari, namun turis-turis lokal maupun mancanegara tetap menggunakan becak untuk mengelilingi kota. Dan melihat keindahan sekelilingnya.

Image

Makanan Penyebar Islam

Posted on Updated on

Indonesia. Sebuah negeri dimana mayoritas penduduknya beragama Muslim. Penyebaran agama Islam dahulunya dilakukan dengan berbagai cara : wayang, alunan musik, ukiran, dll. Namun, ada cara unik tersendiri yang dilakukan para wali demi diterimanya Islam di wilayah pelosok. Yaitu dengan makanan. Berikut beberapa makanan yang dijadikan dakwah bagi para wali (kata guru saya) :

1. Apem

Image

Makanan yang terbuat dari tepung beras ini memiliki rasa yang gurih. Banyak masyarakat yang menyukainya. Karena itu, para mubaligh menggunakannya sebagai sarana dakwah. Selain karena rasanya, nama apem pun berasal bahasa arab “Afwu” yang artinya pemaaf. Nama itulah yang menjadi pedoman para mubaligh untuk berdakwah.

2. Jenang Merah Putih

photo dwiandi.wordpress.com

Jenang Merah-Putih dalam dunia dakwah memiliki arti. Jenang merah berarti darah, dan putih berarti tulang. Dalam hal ini berarti dakwah mubaligh juga mengembangkan Nasionalisme. Agar ajaran Islam juga berbaur dengan masyarakat nasionalis.

3. Ingkung

Image
Ingkung merupakan ayam besar yang dibumbui dan dimasak. Ingkung disajikan dengan tali yang melilit tubuh si ayam. Hal ini bermakna, bahwa manusia diibaratkan seperti ingkung. Ketika meninggal, manusia hanya ditalikan tali pocong dan tidak dibaluti pakaian sehelaipun. Hanya dipakaikan kain kafan.

RITUAL OJUNG

Posted on Updated on

Sebuah tradisi unik digelar di Desa Klaban, Bondowoso, Jawa Timur pada setiap musim kemarau panjang. Untuk memohon agar diturunkan hujan, masyarakat di desa tersebut menggelar ritual atau tradisi ojung yang telah bergulir secara turun temurun. Ritual ini diawali dengan pagelaran tarian topeng kuna dan rontek singo wulung. Kedua tarian ini selalu menjadi pembuka dari tradisi ojung.

Ritual Ojung Di Bondowoso

Menurut mitos, tarian topeng kuna dan rotek singo wulung menceritakan tentang seorang rakyat yang bernama Juk Seng. Dia dipercaya sebagai demang yang menjalankan tugas pemerintah. Juk Seng sendiri selalu dibantu oleh orang setia Jasiman dan murid-muridnya. Juk Seng juga memiliki seorang sahabat seekor singa yang selalu membantu dalam mengusir penjajah. Setelah dibuka dengan dua tarian ini, ritual kemudian dilanjutkan dengan meletakan aneka sesaji di mata air sambil membakar dupa yang dipimpin oleh sesepuh warga sekitar.

Puncak tradisi ojung terletak pada pertandingan adu pukul dengan sebatang rotan. Peserta atraksi ini biasanya lelaki dewasa mulai dari 17 tahun. Tak ubahnya seperti pertandingan, atraksi ini dipimpin seorang wasit. Pertandingan dimulai dengan pecutan rotan masing-masing pemain. Sebelum memulai pertandingan, kedua pemain memakai pelindung dari karung. Meski sedikit berbahaya, namun tradisi ini telah dilaksanakan secara turun temurun. Selain untuk memohon hujan, ritual ini juga dimaksudkan untuk menolak bala bagi masyarakat desa sekitar.

Keprimitifan Suku Naulu

Posted on Updated on

Suku Naulu (Noaulu), adalah suku yang bermukim di bagian utara pulau Seram di provinsi Maluku Indonesia. Suku Naulu mendiami 2 dusun, yaitu dusun Nuanea dan dusun Sepa. Pemukiman suku Naulu di Nuanea hanya berada di satu pemukiman, sedangkan yang berada di Dusun Sepa terdiri dari 5 kampung, yaitu Bonara, Naulu Lama, Hauwalan, Yalahatan dan Rohua.

Image
Pulau Seram selama ini lebih dikenal dengan suku Alifuru sebagai penduduk asli di pulau Seram ini, tapi di bagian utara pulau ini, terdapat pemukiman suatu suku yang hidupnya masih terasing dan sering dikategorikan sebagai suku primitif, yaitu suku Naulu. Walaupun sebenarnya suku Naulu ini bukanlah suku primitif, karena sudah memiliki rumah, sudah mengenal pakaian, minyak tanah dan lain-lain.

Mereka sering disebut primitif, karena beberapa tradisi suku Naulu memang dianggap bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia ini. Salah satunya tradisi Pengasingan Perempuan Hamil. Perempuan hamil diasingkan di sebuah gubuk kecil berukuran 2 x 2 m, dan hanya boleh dikunjungi oleh kaum perempuan hingga sang perempuan melahirkan. Selain itu ada satu lagi, yang paling kontroversial adalah ritual Adat Memperbaiki Rumah, sejak zaman dahulu mereka menggunakan kepala manusia dalam ritual ini. Pada Juli 2005 lalu, warga Masohi kecamatan Amahai kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan tradisi suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe. Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka. Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata. Menurut penuturan ketua adat suku Naulu, bahwa tindakan yang dilakukan warganya disebabkan karena ketidaktahuan akan hukum formal yang berlaku di Indonesia. Motivasi pembunuhan dengan mengambil kepala manusia dilakukan karena merupakan keyakinan mereka untuk melakukan ritual adat yang dinilai sakral. Mereka tidak tahu kalau membunuh itu dilarang, dan bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Image

Ciri Utama : suku Noaulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan laki-laki dewasa. Ikat kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi. Sedangkan para perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya

RITUAL CAMBUK BADAN

Posted on

Ritual_Adu_Cambuk

Ritual cambuk badan tibdan ini dilakukan untuk meminta hujan yang dilakukan oleh warga Desa Wajak, Boyolali, Tulungagung. Ritual ini adalah ritual adu cambuk yang dilakukan oleh pria dewasa. Dulunya tradisi Cambuk badan tiban ini dilakukan oleh Tumenggung Surotani II untuk mencari bibit prajurit yang tanguh namun seiring pergeseran zaman tradisi Cambuk badan tiban dijadikan cara untuk mendatangkan ujan bagi warga setempat, darah yang keluar akibat dari cambukan inilah yang dipercaya warga akan mendatangkan hujan.

RITUAL UJUNGAN

Posted on

unjungan

Ritual Unjungan merupakan ritual yang dilakukan masyarakt di Purbalingga dan Banjarnegara untuk mendtangkan hujan ketika kemarau tiba. Tradisi Unjunga merupakan tradisi mengadu manusia mengunakan rotan yang dilakukan oleh pria dewasa. Sebelum beradu pukul berlangsung biasanya pemain Unjungan akan menari terlebih dahulu dangan iringan musik setelah musik selesai barulah mereka beradu saling memukul mengunakan rotan. Ritual ini akan terrus dilakukan jika hujan belum juga turun namun jumlahnya dihitung secara ganjil. Apabila setelah tiga kali dilaksanakan masih belum turun hujan, maka unjungan tujuh kali begitu seterusnya.

RITUAL COWONGAN

Posted on Updated on

Cowongan adalah suatu sarana untuk mengungkapkan keinginin masyarakat Banyumas akan turunnya hujan. Sebagai komunitas petani tradisonal, masyarakat yang bermukim di desa Plana tentu saja sangat membutuhkan datangnya hujan untuk mengairi sawah yang menjadi sumber penghidupan. Apabila musim kemarau terlalu panjang akibat yang segera dapat dirasakan adalah penderitaan yang diakibatkan oleh kekeringan. Dengan melihat lebih jauh mengenai pelaksanaan cowongan, maka dapat diperoleh gambaran bahwa dalam peaksanaan cowongan terdapat 2 hal penting yaitu aktivitas seni dan bentuk ritual tradisionalyang menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan alam yang bertujuan untuk mendatangkan hujan. Disebut sebagai aktivitas seni karena didalamnya terdapat syair-syair yang tidak lain adalah doa-doa yang dilakukan dalam bentuk tembang, irus atau siwur yang menjadi properti upacara yang dihias menyerupai seorang putri. Doa-doa tersebut ditujukan kepada sang penguasa alam agar hujan segera turun. Disebut sebagai ritual tradisional karena di dalamnya terdapat sesaji-sesaji, properti-properti, rialat dan doa-doa yang kesemuanya ditujukan sebagai suatu permohonan kepada penguasa seluruh alam agar segera menurunkan hujan. Motivasi mereka untuk melakukan upacara tersebut karena manusia (masyarakat) menghormati adanya makhluk-makhluk halus yang telah membantu, memberi keselamatan dan kepuasan keagamaan.

cowongan

Didalam pertunjukan cowongan terdapat beberapa aspek-aspek penting, yaitu sebagai nerikut : 1. Pertunjukan cowongan sebagai bentuk permainan rakyat jawa. Menurut Koentjaraningrat yang dikutip oleh Parwatri, permainan adalah kegiatan manusia untuk menyegarkan jiwa serta mengisi waktu (Koentjaraningrat, dkk, 1984:145 dalam Parwatri 1993:12). Permainan cowongan merupakan permainan nyanyian yang menggunakan properti irus (boneka) sebagai nini cowong, yang dalam hal ini dikatagorikan sebagai permainan gaib atau permainan ritualmagis cowongan. Permainan ini bersifat sakral, karena merupakan bentukupacara minta hujan yang disertai dengan pertunjukan atau permainan cowongan. 2. Cowongan merupakan pertunjukan ritual. Ciri ritual pertunjukan cowongan dalam upacara minta hujan tercermin dalam : 1. dilaksanakan pada malam Jumat Kliwon. 2. tempat yang digunakan khusus yaitu teras (bagian rumah paling depan). 3. pelakunya semua wanita yang dalam kadaan suci. 4. ada perlengkapan sesaji. 3. Pertunjukan cowongan sebagai bentuk upacara untuk mendatangkan kekuatan magis, yang tercermin dalam : 1. syair-syair lagu yang dinyanyikan oleh pelaku cowongan merupakan doa (mantra). 2. dukun (sesepuh cowongan) mengucapkan mantra yang disertai dengan tindakan membakar kemenyanyang ditujukan kepada leluatan-kekuatn supranatural agar membantu kelancaran pertunjukan tanpa halangan apapun. 4. Pertunjukan cowongan merupakan adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat desa Plana pada waktu kemarau panjang. Adat kebiasaan tersebut dilakukan secara turun temurun yang tidak dapat diganti oleh apapun dan selalu dihormati serta ditaati. 5. Pertunjukan cowongan mengandung aspek estetis. Hal ini tercermin dalam syair tembang yang dilagukan dan rias busananya. Kehadiran cowongan tidak tergatung pada penonton seperti yang dikatakan Pariyem “ Ajenga mboten wonten sing nonton, nggih tetep diterasaken. Mangke menawi mandeg sing sami nglampahi kenging bebendu saking sing njampangi (sekalipun tidak ada yang menonton, ya tetap diteruskan. Nanti kalau berhenti para pelakunya terkena hukuman dari yang melindungi).

Bagi masyarakat desa Plana, cowongan merupakan keharusan untuk senantiasa dilakukan sebagai upacara minta hujan setiap kemarau panjang. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat desa Plana yang sebagian besar matapenahariannya bertani atau berocok tanam. Sehingga air merupakan sumber utama bagi mreka yang areal pertaniannya merupakan sawah tadah hujan. Hujan bagi masyarakat desa Plana pada musim kemarau menjadi suatu hal yang sangat berharga. Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas dan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri yang merupakan dewi padi, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Melalui doa-doa yang dilakukan dengan penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi) menuju ke bumi untuk menurunkan hujan. Pada dasarnya, dalam pelaksanaan cowongan terdapat 2 hal penting yaitu aktivitas seni dan bentuk ritual tradisional yang menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan alam yang bertujuan untuk mendatangkan hujan. Cowongan dilaksanakan dengan menggunakan properti berupa siwur atau irus yang dihias menyerupai seorang putri. Pelaku cowongan terdiri atas wanita yang tengah dalam keadaan suci (tidak sedang haid, nifas atau habis melakukan hubungan seksual). Dalam pelaksanaan ritual cowongan, para peraga menyanyikan sebuah tembang yang sesungguhnya merupakan doa-doa. Cowongan hanya dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu ketika terjadi kemarau panjang. Keberhasilan pertunjukan cowongan yaitu cepat lambatnya hujan turun, dipengaruhi oleh tindakan-tindakan ritual sebelum pelaksanaan cowongan. Pertunjukan cowongan ini terselenggara karena adanya pemahaman masyarakat yang menganggap alam memilikikekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia baik positif maupun negatif. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme terhadap masyarakat Plana masih kental. Didalam cowongan tercermin 2 aspek penting yaitu aspek ritual magis dan aspek estetik. Aspek ritual magis cowongan tercermin pada kegiatan masyarakat dalam mengatasi masalah kekeringan atau faktor cuaca dengan menggunakan kekuatan magis yaitu mengadakan upacara minta hujan yang disertai pertunjukan cowongan. Aspek estetik cowongan tercermin dalam kehidupan masyarakat desa Plana yang masih sangat tradisi mampu berkarya seni dan mengungkapkan pengalaman jiwa melalui cowongan.

Kampung Kanibal Pedalaman Papua

Posted on Updated on

Masih banyak suku pedalaman di Indonesia yang masih belum banyak tersentuh oleh modernitas. Misalnya saja adalah suku Kombai dan Korowai yang berada di pedalaman Papua. Kedua suku yang terampil berburu ini masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang, selain itu peralatan yang digunakan juga masih sederhana.

Jika ada orang yang yang terbukti sebagai dukun di kedua desa ini, maka suku Kombai dan Korowai akan menghukumnya dengan cara dibunuh. Kemudian dagingnya dimakan oleh masyarakat untuk persembahan bagi jiwa yang dimakan terdakwa. cr : kaskus